Dalam sambutannya, Kadiskes Suyuti Syamsul mengatakan peran multisektor dikoordinasikan melalui kelembagaan Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga kecamatan dan desa/kelurahan. Pelaksanaan di tingkat daerah dipimpin langsung oleh wakil kepala daerah agar dapat secara efektif mengatasi hambatan koordinasi dan intensitas layanan yang dihadapi.
“Selain itu, pendekatan percepatan penurunan stunting diarahkan pada aspek pencegahan dengan memperluas sasaran-sasaran strategis terutama pada sektor hulu melalui sasaran remaja putri, calon pengantin, pasangan usia subur, hingga sasaran ibu dan bayi yang memiliki resiko stunting hingga usia lima tahun. Untuk memastikan aksesibilitas layanan bagi seluruh sasaran prioritas tersebut koordinasi lintas sektor diperkuat oleh Tim Pendamping Keluarga, untuk memastikan seluruh intervensi tidak hanya diterima namun dimanfaatkan oleh sasaran prioritas,” imbuhnya.
Dijelaskan pula, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting sebagai penguatan dan penajaman Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting yang telah diluncurkan sejak tahun 2018. Perpres 72/2021 ini semakin memperkuat kerangka intervensi dan kelembagaan dalam pelaksanaan percepatan penurunan stunting, baik di tingkat pusat dan daerah untuk mencapai target prevalensi stunting 14 persen pada tahun 2024 sesuai dengan RPJMN 2020-2024.
“Dalam rangka mengawal pelaksanaan program percepatan penurunan stunting, pemerintah melakukan intervensi melalui pendekatan multisektor yang mengarah pada peningkatan kualitas intervensi spesifik dan sensitif, terutama melalui pemenuhan seluruh indikator sebagaimana tertuang dalam lampiran Perpres 72/2021 tersebut,” ungkapnya.
Ia menambahkan, permasalahan gizi pada ibu hamil sering terjadi karena adanya masalah pada saat remaja dan sebelum hamil. Kekurangan gizi kronis dan anemia pada remaja berdampak buruk pada kesehatan dan perkembangan mereka. Tingginya angka malnutrisi pada remaja putri, calon pengantin dan ibu hamil berkontribusi pada risiko peningkatan morbiditas dan mortalitas pada kehamilan dan persalinan, serta melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan prematur. Kondisi ini berkontribusi pada siklus malnutrisi antar generasi.
“Setelah bayi lahir, hal penting yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan dalam 1000 hari pertama Kehidupan (HPK) adalah Pemberian Makan pada Bayi dan Anak (PMBA). PMBA mencakup pemberian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang ada sejak bayi berusia 6 (enam) bulan sampai 24 bulan dan dilanjutkan sampai usia 59 bulan,” tegas Kadiskes.
Adapun angka cakupan bayi yang mendapat ASI Eksklusif pada tahun 2023 sebesar 58% (cakupan ePPGBM, 2023) angka tersebut belum mencapai target Rencana Strategi Kesehatan tahun 2023 yaitu 75%, sehingga perlu ditingkatkan untuk pencapaian lebih optimal. Selain capaian target, sangat penting untuk dilakukan upaya peningkatan kualitas MP ASI.
“Untuk mencapai target 11 program intervensi spesifik dan sensitif tersebut sangat diperlukan dukungan lintas sektor dan program terkait. Oleh karena itu, untuk semakin memperjelas peran lintas sektor dan lintas program maka perlu dilakukan evaluasi kinerja lintas sektor dan program terkait dengan melaksanakan pertemuan ini,” tutup Kadiskes.
Hadir pada kegiatan tersebut sebagai peserta yaitu perwakilan dari Bappedalitbang Kalteng, perwakilan Disdik Kalteng, perwakilan DP3APPKB, serta Kabid Kesmas dan Kabid P2P Dinas Kesehatan Kalteng.(*red)